Kamis, 14 Mei 2009

PARADIGMA PEDAGOGI REFLEKTIF



A. TEMA
Pendidikan

B. JUDUL
Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR)

C. LATAR BELAKANG MASALAH
Para tokoh pendidikan menyakini bahwa pendidikan bukan hanya untuk menciptakan para teknokrat dengan keahlian tinggi tetapi lebih dari itu, menunmbuhkan manusia-manusia terpelajar yang mau dan mampu memperjuangkan keadilan dalam kehidupan bersama yang membahagiakan. Inilah proses perubahan social menuju masyarakat dan dunia yang lebih baik. Pendidikan adalah instrumen untuk mencapai idealisme tersebut. Dengan demikian, pendidikan menemukan relevansinya sebagai kunci perubahan sosial. Maka pendidikan harus berhasil menumbuhkembangkan pribadi dan karakter siswa, sehingga dikemudian hari mereka siap menjadi pelaku perubahan-perubahan social yang tangguh. Keyakinan ini harus diwujudkan karena pendidikan berperan penting dalam upaya membangun kehidupan bersama yang diwarnai persaudaraan sejati, keadilan, solidaritas, dan bertanggungjawab.

D. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan apa yang dikemukakan dalam latar belakang maka penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut:
I. Bagaimana penerapan model Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) dalam meningkatkan mutu pendidikan?
II. Pengaruh penerapan model Paradigma Pedagogi reflektif dalam meningkatkan mutu pendidikan?

E. PEMBAHASAN
Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) merupakan polapikir (paradigma=polapikir) dalam menumbuhkembangkan pribadi siswa menjadi pribadi kemanusiaan (pedagogi reflektif = pendidikan kemanusiaan). Polapikirnya: dalam membentuk pribadi, siswa diberi pengalaman akan suatu nilai kemanusiaan, kemudian siswa difasilitasi dengan pertanyaan agar merefleksikan pengalaman tersebut, dan berikutnya difasilitasi dengan pertanyaan aksi agar siswa membuat niat dan berbuat sesuai dengan nilai tersebut.
Melalui dinamika polapikir tersebut siswa diharapkan mengalami sendiri (bukan hanya mendapat informasi karma diberitahu). Melalui refleksi diharapkan siswa yakin sendiri (bukan karena patuh pada tradisi atau peraturan). Melalui aksi, siswa berbuat dari kemauannya sendiri (bukan karena ikut-ikutan atau takut sanksi). Pembentukan kepribadian diharapkan dilakukan sedemikian rupa sehingga siswa nantinya memiliki komitmen untuk memperjuangkan kehidupan bersama yang lebih adil, bersaudara, bermartabat, melestarikan lingkungan hidup, dan lebih menjamin kesejahteraan umum.
Sampai sekarang pengalaman yang diberikan adalah pengalaman persaudaraan yang disampaikan berdasarkan kerjasama kelompok. Tujuannya, menumbuhkembangkan persaudaraan, solidaritas antarteman, dan saling menghargai yang merupakan aspek-aspek kemanusiaan. Langkah tersebut dipilih karena PPR berdasarkan kerja sama kelompok lebih mudah dipahami oleh guru-guru, lebih mudah dilaksanakan, dan lebih cepat tampak hasilnya. Pelaksanaan PPR memang masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Pelaksanaan pengembangan PPR terletak pada dasar dan tujuannya. Landasannya antara lain adalah materi pembelajarannya dan tujuannya adalah kemanusiaan yang lebih luas daripada sekadar persaudaraan.

1. Tata Cara Pelaksanaan PPR
Tiga unsure utama PPR adalah pengalaman, refleksi, dan aksi. Unsure yang belum disebutkan adalah konteks dan evaluasi. Gambaran pembinaan siswa melalui PPR untuk membentuk budaya alternative secara singkat adalah sebagai berikut:

KONTEKS
refleksi: memperdalam pemahaman, mencari makna kemanusiaan, kemasyarakatan. menyadari motivasi, dorongan, keyakinan.

aksi: memutuskan untuk bersikap, berniat, berbuat. perbuatan konkret.

evaluasi: evaluasi ranah intelektual. evaluasi perubahan pola pikir, sikap, perilaku siswa.

pengalaman: mempelajari sendiri, latihan kegiatan sendiri (lawan ceramah). tanggapan efektif terhadap yang dilakukan, latihan dari yang dipelajari.

1) Konteks
Konteks untuk menumbuhkembangkan pendidikan antara lain sebagai berikut:
Pertama, wacana tentang nilai-nilai yang akan di kembangkankan agar semua angota komunitas, guru, dan siswa menyadari bahwa yang menjadi landasan pengembangan bukan aturan, perintah, atau sanksi-sanksi melainkan nilai-nilai kemanusiaan. Guru (fasilitator) perlu menyemangati mereka agar memiliki nilai seperti: persaudaraan, solidaritas, penghargaan terhadap sesame, tanggung jawab, kerja keras, kepentingan bersama, cinta lingkungan hidup, dan nilai-nilai yang semacam itu. Diharapkan semua anggota komunitas berbicara mengenai nilai-nilai.
Kedua, contoh-contoh penghayatan seperti nilai-nilai yang diperjuangkan, lebih-lebih contoh dari pohak guru. Kalau itu ada maka siswa akan cenderung untuk melihat, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan nilai yang dihayatinya.
Ketiga, hubungan akrab, saling percaya, agar bisa terjalin dialog yang saling terbuka antara guru dan siswa. Setiap orang dihargai, ditunjukan kebaikannya, ditantang untuk melakukan yang benar dan baik. Idealnya, sekolah merupakan tempat bagi anak untuk belajar saling membantu, bekerjasama dengan semangat untuk menyatakan secara konkrit melalui perkataan dan perbuatan yang didasarkan pada idealisme bersama.
2) Pengalaman
Pengalaman untuk menumbuhkan persaudaraan, solidaritas, dan saling membantu adalah pengalaman bekerjasama dalam kelompok kecil yang “direkayasa” sehingga terjadi interaksi dan komunikasi yang intensif, ramah dan sopan, tenggang rasa, dan akrab.
Sering kali tidak mungkin guru (fasilitator) menyediakan pengalaman langsung mengenai nilai-nilai yang lain. Untuk itu siswa difasilitasi dengan pengalaman yang tidak langsung. Pengalaman yang tidak langsung diciptakan misalnya dengan membaca dan/atau mempelajari suatu kejadiaan. Selanjutnya guru (fasilitator) memberi sugesti agar siswa mempergunakan imajinasi mereka, mendengar cerita dari guru, melihat gambar sambil berimajinasi, bermain peran, atau melihat tayangan film/video.
Misalnya, ketika guru mengajar tentang energi (IPA) dan sekaligus ingin memberi siswa pengalaman tentang ketidakadilan. Siswa bisa diajak melihat ganbar dan membaca cerita tentang orang-orang yang bekerja ditambang batubara dan tinggal di gubuk-gubuk kumuh. Guru juga bisa mengajak mereka membayangkan keadaan pekerja-pekerja itu bersama dengan keluarga dan anak-anak mereka. Banyakorang diuntungkan dan hidup nyaman dari hasil tambang itu. Namun, para pekerja yang menghasilkan batubara tetap hidup menderita, hidup susah, dan miskin. Dengan cara demikian, siswa difasilitasi dengan pengalaman untuk mempelajari ilmu sekaligus “melihat” sendiri ketidakadilan itu. Siswa dapat mengalami sendiri (meskipun secara tidak langsung) dan memperoleh pengalaman mengenai ketidakadilan, bukan mendapat informasi tentang ketidakadilan.
3) Refleksi
Guru memfasilitasi dengan pertanyaan agar siswa terbantu untuk merefleksikan. Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan yang divergen (menyebar) agar siswa secara otentik dapat memahami, mendalami, dan menyakini temuannya. Siswa dapat diajak untuk diam dan hening untuk meresapi apa yang baru saja dibicarakan. Melalui refleksi, siswa menyakini makna nilai yang terkandung dalam pengalamannya. Diharapkan siswa membentuk pribadi mereka sesuai dengan nilai yang terkandung dalam pengalamannya itu.
4) Aksi
Guru memfasilitasi siswa dengan pertanyaan aksi agar siswa terbantu untuk membangun niat dan bertindak sesuai dengan hasil refleksinya. Dengan membangun niat dan berperilaku dari kemauannya sendiri, siswa membentuk pribadinya agar nantinya (lama-kelamaan) menjadi pejuang bagi nilai-nilai yang direfleksikannya.
5) Evaluasi
Setelah pembelajaran, guru memberikan evaluasi atas kompetensinya dari sis akademik. Ini adalah hal wajar dan merupakan keharusan. Sekolah memang dibangun untuk mengembangkan ranah akademik dan menyiapkan siswa menjadi kompeten di bidang studi yang dipelajarinya. Namun guru/sekolah juga perlu mengevaluasi apakah ada perkembangan pada pribadi siswa.

2. Pengembangan Pendidkan Melalui PPR
1) Budaya antikorupsi, antikekerasan, dan antiperusakan linkungan.
Kita dapat mencermati upaya menumbuhkan budaya ini satu per satu, misalnya sebagai berikut:
 Antikorupsi≈antinyontek.
Antikorupsi dapat diberikan dengan mengembangkan budaya antinyontek dengan strategi sebagai berikut:
• Diciptakan suasana atau wacana (sebagai konteks) bahwa lebih baik bekerja sendiri daripada nyontek: “bangga dengan pekerjaan sendiri”,”jujur”,”bertanggungjawab terhadap masa depan”…..
• Bila ada siswa kedapatan nyontek, guru jangan memarahinya tetapi mengajak untuk merefleksi.
• Dengan metode kerjasama kelompok, siswa diajak untuk bekerjakeras sehingga tumbuh rasa percaya diri, mampu mengikuti pelajaran dan yakin.
• Diadakan tes tanpa pengawasan atau tanpa pengawasan yang ketat.
• Diadakan refleksi dan aksi (mengenai nyotek).
 Antikekerasan≈persaudaraan, solidaritas dan, saling menghargai.
Konteksnya adalah wacana penghargaan dan pentingnya persaudaraan. Komunitas harus memberikan contohcontoh teladan seperti persaudaraan antar guru, antar guru dan siswa, dan antar siswa. Pengalaman persaudaraan diperoleh dari kerjasama dalam belajar, dengan menumbuhkan komunikasi dan interaksi yang intensif, akrab, saling membantu, dan saling memuji. Cara pengembangan persaudaraan, solidaritas, dan saling menghargai sebaiknya dilaksanakan disekolah. Pengalaman itu direfleksi dan ditanggapi dengan aksi, selanjutnya seluruh proses di evaluasi.
 Antiperusakan lingkungan≈mencintai lingkungan hidup.
Konteks mencintai lingkungan dikembangkan dengan wacana cinta lingkungan (bukan aturan atau sanksi):”mengatur kelas dengan rapi karena mencintai kelas yang nyaman dan indah”……pengalaman untuk mengembangkan cinta lingkungan dapat diperoleh dari prakti-praktik disekolah misalnya bersihkan kelas, membuat kelas bersih, nyaman, dan indah, atau memelihara kebun didepan kelas masing-masing. Jika perlu bisa ditambahkan dengan lomba kebersihan namun praktik tersebut perlu dilandasi dengan wacana cinta lingkungan.

2) Sikap kemanusiaan kritis.
Pendidikan perlu mengembangkan siswa-siswanya tidak hanya pandai secara akademik, tetapi menjadi cerdas (bukan hanya pandai dalam bidang studi). Cerdas yang dimaksud adalah cerdas dalam bersikap, memutuskan, memilih, menilai, dan bertindak. Dengan kata lain cerdas adalah sikap kemanusiaan yang kritis.
Dengan bimbingan guru, siswa diajak untuk membahas masalah-masalah atau kejadia-kejadian yang dipaparkan dalam media massa untuk membentuk pendapat dan sikap kritis berdasarkan kaidah dan etika yang telah dipelajari. Berlandaskan sikap, keyakinan, nilai kemanusiaan/budaya alternative tersebut, siswa dilatih untuk menjadi cerdas. Dengan menyikapi dan menghayati nilai/budaya alternatif sebagai landasannya, siswa dilatih untuk membahas masalah actual kemasyarakatan secara kritis.
3) Religiositas terbuka.
Religiositas telah menjadi pembelajaran wajib di sekolah. Agar pelajaran religiositas berdaya guna dalam mengembangkan sikap atau cara berpikir kritis, siswa tidak boleh hanya menerima (pasif). Materi ajar sebaiknya diberikan sebagai suatu pertanyaan atau masalah, sehingga pembelajaran bagi siswa menjadi praktik berpikir dan bekerja secara aktif. Dengan adanya berbagai masalah yang dijadikan tantangan, siswa aktif bernalar, bereksplorasi, dan berkreasi.
Melalui pembelajaran regiositas siswa dibantu untuk memahami dan menghayati nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai keagamaan.
4) Penalaran, eksplorasi, kreativitas, dan kemandirian.
Sangat diperlukan kemampuan penalaran, eksplorasi, kreativitas, dan kemandirian dalam belajarbaik bagi mereka yang akan sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun mereka yang Karena hambatan financial tidak mampu sampai ke jenjang yang lebih tinggi.
Untuk mengembangkan penalaran, materi pelajaran dikemas dan disampaikan kepada siswa sebagai masalah yang harus dipecahkan. Pertama-tama siswa harus merumuskan masalahnya, mencari data-data yang diperlukan, mencari solusinya, dan menguji apakah solusi tersebut tepat atau tidak. Dengan demikian siswa “dipaksa” bernalar, mencari jalan keluar, mencari data-data (eksplorasi), mengutak-atik solusi, dan mencari cara untuk mengujinya (kreativitas).
5) Kemahiran berbicara.
Sebagai calon pejuang, siswa diharapkan mampu memimpin. Uuntuk itu, siswa diharapkan mampu berbicara logis, runtut, menarik, dan berisi dalam bahasa yang baik dan benar. Kemampuan ini diharapkan terus berkembang sehingga siswa-siswi akan selalu berkembang dalam kepemimpinan selama studi dijenjang pendidikan yang lebih tinggi dan diharapkan tetap mempunyai komitmen dan keterampilan yang cukup untuk memperjuangkan perubahan sosial.

3. pembelajaran berpola PPR
pembelajaran berpola PPR adalah pembelajaran yang mengintegrasikan pembelajaran bidang studi dengan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Pembelajaran bidang studi disesuaikan dengan konteks siswa. Sedangkan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan ditumbuhkembangkan melalui dinamika pengalaman, refleksi, dan aksi. Proses pembelajaran ini dikawal dengan evaluasi.
Secara praktis pembelajaran yang berpola PPR dapat dibandingkan dengan Rencana Pembelajaran (RP) berpola KBK atau KTSP sebagai berikut.


RP berpola KBK atau KTSP

Sekolah :…………………
Mata pelajaran :…………………
Kelas/semester :…………………
Materi pokok :…………………
Waktu :…………………
1. Standar kompetensi :…………………
2. Kompetensi dasar :…………………
3. Materi pembelajaran :…………………

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

4. Strategi pembelajaran/ scenario:
a. Pendahuluan :…………………

b. Kegiatan inti :…………………
• Mengolah materi pembelajaran
• Latihan soal
• Evaluasi dan pembahasannya
c. Penutup :…………………
5. Media pembelajaran :…………………
6. Life Skill :…………………
7. Penilaian :
a. Hasil :…………………
b. Proses :…………………
8. Sumber bahan :…………………


RP berpola PPR

Sekolah :…………………
Mata pelajaran :…………………
Kelas/semester :…………………
Materi pokok : sesuaikan
Waktu : dengan
1. Standar kompetensi : konteks
2. Kompetensi dasar : siswa
3. Materi pembelajaran :…………………
Nilai kemanusiaan :…………………
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
4. Strategi pembelajaran/ scenario:
a. Introduksi agar :
• Siswa mengerti bahan pelajaran
• Siswa mau berpartisipasi dalam menumbuhkan persaudaraan
b. Kegiatan inti :
• Mengolah materi pembelajarn
• Latihan soal : kerja sama sekaligus
Pengalaman persaudaraan
• Evaluasi dan pembahasaanya
• Refleksi
• Aksi
c. Penutup :…………………
5. Media pembelajaran :…………………
6. Life Skill :…………………
7. Penilaian :
c. Hasil :…………………
d. Proses :…………………
8. Sumber bahan :…………………
9. Evaluasi PPR : dampak pada siswa, guru, dan orang tua.

Dari skema RPP di atas, jelas bahwa pembelajaran berpola PPR adalah pembelajaran biasa yang bisa mengikuti kurikulum 1994 (KBK) atau kurikulum 2006 (KTSP) dengan modifikasi sekedarnya. Pembelajaran berpola PPR tidak menuntut kurikulum baru, mata pelajaran baru, tidak juga menuntut jam pelajaran tambahan.
Dalam RPP yang lazim seperti di atas, empat butir pertama yang tanpa nomor boleh dikatakan memberi gambaran konteks umum: konteks sekolah, konteks kurikulum, konteks waktu, konteks materi pokok. Butir 1 sampai dengan 3 memuat arah pembelajaran dan materi. Butir 5 memberikan gambaran urutan dan tahap-tahap pembelajaran. Butir-butir selanjutnya merupakan persiapan kebutuhan fisik dan tindak lanjut.
Modifikasi pembelajaran biasa dapat menjadi pembelajaran berpola PPR:
 Menyesuaikan kompetensi dan materi dengan kemampuan siswa. Memperhatikan dan memperhitungkan konteks siswa merupakan syarat dalam keberhasilan pembelajaran berpola PPR.
 Menggunakan metode kerja sama dalam pembelajaran. Guru memfasilitasi dengan beberapa seperangkat tata cara bekerja sama sehingga kerja sama menjadi latihan atau pengalaman bersaudara, saling bertanggung jawab, dan saling menghargai.
 Guru memfasilitasi dengan pertanyaan agar siswa merefleksikan pengalamannya, sehingga ia menyadari sendiri mutu, manfaat, dan makna persaudaraan.
 Guru memfasilitasi dengan pertanyaan agar siswa ber-aksi: siswa berniat dan berbuat dari kemauannya sendiri.
 Evaluasi dilakukan berkaitan dengan dampak pada sikap dan perilaku siswa,dampak pada kelas dan komunitas sekolah, serta dampak pada keluarga dan orang tua siswa.
Hal berikut yang perlu diperhatikan adalah menentukan tata cara kerja sama, pertanyaan reflektif, dan pertanyaan aksi yang dapat memfasilitasi proses PPR. Agar kerjasama kelompok sungguh-sungguh menghasilkan pengalaman persaudaraan, perlu ada rambu-rambu bagi guru yang membimbing kelompok maupun siswa yang harus membangun kerja sama, misalnya sebagai berikut
a Membentuk kelompok
 Dibentuk kelompok dengan siswa yang heterogen menurut jenis kelamin, kecerdasan, etnis, budaya.
 Kadang-kadang dibentuk kelompok menurut tingkat kecerdasan, agar ada kesempatan bagi siswa yang sama-sama cerdas bersaing (secara positif) untuk menunjukkan potensi mereka.
b Mengatur tempat duduk
 Siswa anggota kelompok duduk membentuk lingkaran bulat (bukan lonjong).
 Siswa duduk berdekatan.
c Memulai kerja sama
 Sebelum memulai kerja sama siswa harus konsentrasi. Untuk itu siswa dipersilahkan dududk tenang, kemudian hening sejenak dan berkonsentrasi.
 Untuk menciptakan suasana santai dan akrab, sebelum berbicara siswa saling berjabat tangan.
d Melaksanakan kerja sama
 Semua siswa anggota kelompok harus mendapat atau diberi giliran/ kesempatan untuk berbicara.
 Selama ada yang berbicara, siswa lain mendengarkan dengan baik dan tidak ada yang boleh berbicara sendiri.
 Tidak ada siswa yang boleh mendominasi pembicaraan, menyuruh-nyuruh, atau menguasai kelompok.
 Tidak boleh melecehkan siswa lain dengan perkataan, perbuatan, atau sikap badan.
e Mengakhiri kerja sama
 Saling berterima kasih
 Berkonsentrasi beberapa saat
 Berjabat tangan
4. kelebihan-kelebihan PPR
a Murah meriah
Dalam praktik, pembelajaran PPR diintegrasikan dengan bidang studi yang diajarkan, maka tidak memerlukan sarana atau prasarana khusus, kecuali yang dibutuhkan oleh bidang studi yang bersangkutan. Penerapan dinamika koteks, pengalaman, refleksi aksi, evaluasi dalam belajar dengan kerja sama kelompok dapat diterapkan dalam semua bidang studi tanpa menambaha sarana maupun prasarana. Hal khusus yang diperlukan hanyalah cara pandang baru dalam pembelajaran.
b Segala kurikulum
PPR dapat diterapkan dalam semua kurikulum: KTSP, KBK, kurikulum 1994, bahkan pada kurikulum manapun. Paradigma ini tidak menuntut tambahan bidang studi baru, jam pelajaran tambahan, maupun peralatan khusus. Hal pokok yang dibutuhkan hanyalah pendekatan baru pada cara kita mengajarkan mata pelajaran yang ada.
Secara ringkas keuntungan-keuntungan menerapkan PPR di sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Dari segi integrasi:
a Pembelajaran berpola PPR murah
b Tidak terhambat kurikulum baru, para pengawas, atau diknas.
c Mengajarkan dan melatihkan nilai-nilai kemanusiaan 42 jam per minggu
2) Dari segi pengalaman, refleksi dan aksi:
a Tidak perlu banyak aturan, banyak sanksi, dan macam-macam pemaksaan seperti yang lazim di sekolah.
b Pendidikan yang otentik
3) Dari segi pendidikan kemanusiaan
a Ciri khas kemanusiaan dapat diwujudkan dalam kegiatan kelas sehari-hari.
b Mejadikan keunggulan sekolah yang tidak dapat diungguli sekolah lain.


F. PENUTUP
1. Kesimpulan
PPR (Paradigma Pedagogi reflektif) merupakan pola pikir (paradigma) dalam menumbuhkembangkan pribadi siswa menjadi pribadi manusiawi (pedagogi reflektif ≈ pendidikan kemanusiaan). Sebagaimana telah disampaikan di atas, yang dimaksud dengan pribadi manusiawi adalah pribadi yang berani berbuat konkret dalam mengupayakan tata kehidupan bersama, yang ditandai dengan ditegakkannya kebenaran, diwujudkannya keadilan, dan dihadirkannya damai sejahtera bagi manusia dan alam dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Saran
Guru perlu memfasilitasi proses dengan seperamngkat tata cara membangun kerjasama, proses ini sekaligus akan menjadi latihan bagi siswa untuk mengalami kebersamaan, persaudaraan, kesadaran untuk bertanggungjawab, dan kesediaan untuk saling menghargai. Guru juga perlu memfasilitasi siswa agar merefleksikan pengalamannya itu sehingga mereka menyadari manfaat dan maknanya.


G. DAFTAR PUSTAKA

Tim Redaksi Kanisius. 2008. “Paradigma Pedagogi reflektif”. Yogyakarta: kanisius.

Depdiknas, Kurikulum KBK 2004. Jakarta, 2004.

Depdiknas, Kurikulum KTSP 2006. Jakarta, 2006.

Tidak ada komentar: